Like You (Fan Fiction)

Title : Like You
Cast : EXO-K (Oh Sehun, Kim Jongin, Do Kyung soo Kim Suho, Park Chanyeol, Byun Baekhyun)
Genre : Brothership,Friendship,Gaje (?)
Author : Oceng

hai, saya sedang membuat cerpen nih. silahkan dinikmati^^

nb : Cast bukan milik saya. jangan copas, jangan diplagiat. Ingat, dosa itu berlaku :)

 “Makanan ada di atas meja. Mandilah terlebih dahulu lalu pergi ke sekolah”

Cih, memo lagi memo lagi. Apa hanya itu yang bisa dia tulis? Setiap hari hanya ada kalimat yang sama di atas kulkas. Setidaknya kabari aku kek, beri aku semangat kek, atau setidaknya pulang dan tidur di sampingku. Apakah ini yang dimaksud kakak yang baik?

Kuambil roti yang dibuat oleh kakakku, Kim Jong In. Yah, meski kami bukan saudara kandung, Aku sangat menyayanginya. Aku sudah menganggap Dia sebagai kakakku yang paling aku sayangi. Namun, semuanya berubah setelah ibu dan ayah meninggal karena kecelakaan. Sejak saat itu Dia yang dulunya periang, sering tersenyum dan jail kini berubah. Sifatnya benar benar dingin, jarang senyum dan yang parahnya Dia jarang pulang ke rumah. Sekalipun pulang mungkin hanya sejam atau lebih sedikit dan hanya untuk membuatkanku sarapan. Itupun jarang sekali. Mungkin hanya dua bulan sekali. Katanya sih Dia bekerja, tapi setidaknya pulanglah dan tidur meski hanya beberapa jam. Aku menganggap diriku adalah seorang yang sebatang kara dan tidak memiliki siapapun lagi. Apalagi belakangan ini kepalaku sering pusing. Aku membutuhkannya, aku butuh kakakku tapi dia tidak peduli dan hanya memperdulikan dirinya sendiri. Aku benci padanya.
Aku berangkat menggunakan sepeda ke sekolahku, SMA Seoul. Meski bukan siswa kaya, aku beruntung bisa masuk ke sekolah bergengsi itu. Aku ingat dulu kakak akan mengantarku ke sekolah menggunakan sepeda motor yang didapatkannya dari kompetisi dance. Betapa bahagianya dapat melihat senyumannya itu. Senyuman yang menghangatkanku. Namun kini, hanya kenangan. Dia sudah seperti memiliki kehidupan sendiri yang aku pun tidak tau itu apa.

Akhirnya aku sampai, meski terlambat beberapa menit pak satpam masih membiarkanku masuk. Aku cukup akrab dengan beberapa petugas sekolah sebab murid murid disini tidak ada yang mau berteman denganku. Sekalipun ada, itu hanya Baekhyun dan Chanyeol saja. dan sialnya, mereka dua tingkat di atasku, sekarang mereka sudah lulus dan aku baru naik ke kelas 2.

Aku kemudian masuk belajar. Guru yang mengajar, Pak Sooman mungkin memaklumi keterlambatanku. Terbukti karena dia yang hanya tersenyum tipis dan tak menegur sama sekali. Aku memperhatikan semua yang dijelaskan olehnya. Tak terasa bel istirahat berbunyi. Akupun berjalan keluar kelas untuk menikmati waktu luang yang jarang kudapatkan ketika berada di luar sekolah

“Sehun”

Kudengar seseorang memanggil namaku. Aku berbalik, ternyata Dio. Dia adalah salah satu murid terkaya dan terpintar di sekolahku. Aku kurang akrab dengannya sebab aku tidak mau bergaul dengan orang kaya. Baekhyun dan Chanyeol juga orang kaya, namun kami berteman karena bertemu di cafe tempatku bekerja setahun yang lalu. Itupun saat aku masih kelas 3 SMP.

“Iya?”

Aku merespon. Dia tersenyum tipis. Langkah kakinya menghampiriku perlahan. Diberikannya padaku beberapa buah buku.

“Untuk kau pelajari. Pihak sekolah memilihmu untuk lomba debat minggu depan. Mari bekerja sama”

Tanpa aku bertanya, dia sudah menjawab dengan rinci. Mungkin dia bisa membaca raut mukaku yang terlihat bingung.

“Hah? Kau serius? Tapi mengapa harus aku?”

Aku bingung. Dari ratusan siswa, mengapa harus Aku yang terpilih. Tidak, bukannya tidak menyukainya. Aku malah sangat senang sehingga sangat ingin melompat saat ini. inilah impianku, dapat mengikuti sebuah perlombaan dan mengharumkan nama baik sekolah. Tapi, aku tidak yakin dapat belajar dengan baik. Sepulang sekolah aku harus bekerja, dan di akhir pekan harus membantu sebagai relawan di salah satu panti singgah anak kurang mampu. Aku takut tidak memiliki waktu yang cukup untuk belajar.

“Kau tidak senang? Aku dengar kau adalah sainganku saat mencoba meraih nilai tertinggi semester baru baru ini”

Wajahnya terlihat kecewa

“Ti..tidak. Tapi, aku masih harus bekerja dan menjadi relawan di salah satu panti singgah di kota ini. Takutnya tidak memiliki waktu belajar yang cukup dan persiapan yang matang”

“Tenanglah. Itu sih gampang. Sampai bertemu lagi”

Dia lalu pergi meninggalkanku menuju ruang kelasnya. Tidak kusangka masih ada orang di sekolah ini yang mau berbicara denganku.

Aku lalu masuk kelas untuk belajar. Saat ini guru sedang rapat jadi kami dipulangkan. Baguslah, aku memiliki waktu yang lumayan lama untuk bersiap siap bekerja.

Aku mengambil sepedaku yang terparkir dekat pos satpam. Bukan apanya, seminggu yang lalu ban sepedaku dibuat bocor oleh orang orang. Rantainya juga dibuat putus. Setidaknya jika ditaruh disini, sepedaku aman. Aku bukanlah orang kaya yang bisa memperbaiki barang barangku dengan mudah. Butuh banyak uang untuk melakukannya.

Ngomong-ngomong soal uang, aku teringat kakakku. Katanya bekerja siang malam tapi uang yang dikirimkannya untukku hanya beberapa. Terpaksa aku harus menambah jam kerjaku di cafe tempatku bekerja agar mendapat lebih banyak penghasilan.

Saat perjalanan pulang betapa kagetnya Aku. Aku melihat kakakku masuk ke sebuah bar. Sial. Apa begitu mudah untuknya keluar masuk tempat seperti itu? Apakah dia membayar wanita wanita bayaran? Apa karena itu dia jarang pulang dan uang yang dikirimkannya selalu dibawah standar? Sekalian saja tidak usah mengirimkanku uang. Kak, aku merindukan sosokmu yang dulu. Mengapa kau menjadi orang yang seperti ini?

Tak terasa air mataku menetes begitu saja. begitu menyedihkan memang. Perlahan,  kukayuh sepedaku semakin kencang agar bisa sampai ke rumah lebih cepat. Berharap aku dapat melupakan apa yang baru saja kulihat.

“Aku datang. Selamat siang”

Aku menyapa orang-orang di cafe. Meski aku bekerja disini, aku lebih menganggap cafe ini sebagai rumah keduaku. Selain karena aku menghabiskan setengah hariku disini, juga karena disini aku memiliki banyak teman. Chanyeol dan Baekhyun juga sering datang ke sini sehabis kuliah. Meski beberapa waktu ini jarang karena mereka harus tur ke eropa selama beberapa bulan

“Hai Sehun. Kau sudah liat si pegawai baru itu?”

Suho bertanya padaku. Pegawai baru katanya?

“Ah, tidak.”

“Itu sana sedang bermain piano dan menyanyi di panggung”

Aku ingin melihat si pegawai baru itu. Suaranya yang menyanyi di atas bagus sekali. Namun disana sangat ramai. Aku mengurungkan niatku. Aku pun mengganti baju dan mulai bekerja.

“Hei, Sehun”

Seseorang memanggilku. Aku pun memalingkan pandanganku.

“Dio? Apa yang kau lakukan disini? Seragammu? Kau pegawai baru itu? Astaga, ikut aku sekarang”

Kutarik tangannya dan membawanya ke belakang.

“Hei, sakit tau. Kenapa sih kamu narik narik segala?”

Dia mengeluh. Segera kulepas tangannya kasar.

“Tempat seperti ini tidak cocok untukmu bekerja. Lagipula uangmu kan sudah banyak. Kenapa bekerja juga?”

Aku bertanya padanya. Aku kesal.

“Memangnya kenapa? Bagus kan Kita jadi punya waktu banyak untuk bersama. Dengan begini lebih mudah memantaumu. Lagipula pekerjaan yang kulakukan hanya membawa minuman ke pelanggan dan menyanyi atau bermain piano dipanggung. Aku menyukainya kok”

Dia menjelaskan sambil membulatkan matanya. Dia sangat imut. Ingin rasanya mencubit pipinya. Mungkin kalau dia wanita aku sudah langsung memintanya jadi pacarku saja.

“Hmm. Ya sudah, maaf yah. Tapi mengapa kau harus repot-repot seperti ini? Orang kaya sepertimu tidak seharusnya begini”

Kupegang pundaknya dengan kedua tanganku. Kutatap matanya lekat. Mata bulatnya berkedip centil. Aku langsung menjitak kepalanya kesal.

“Aish. Sakit tau. Aku hanya ingin menjadi temanmu. Aku memperhatikanmu sudah lama namun setauku kau tidak mau bergaul. Jadi aku saja yang mendekatimu. Apa salah?”

Selain pintar dan juga kaya, Dia juga baik hati. Sungguh, Dia teman yang sangat sempurna

“Kau serius mau berteman denganku? Apa Aku tidak salah dengar?”

Kuselipkan rambutku ke belakang telingaku, kudekatkan kepalaku ke mulutnya

“IYAAAAA”

Sial, dia malah teriak. Teriakannya terlalu cetar membahana badai halilintar. Membuatku terkaget.

“Hei, aku tidak tuli tau”

Aku memberantakan rambutnya dengan kedua tanganku

Dia tertawa lepas. Aku juga tertawa. Kita tertawa. Mungkin seperti ini rasanya berteman dengan teman yang seumuran dan memiliki minat yang sama.

Sejak saat itu Aku dan Dio semakin dekat. Apalagi saat Kami berhasil membawa piala juara untuk lomba debat yang membuat kami bertemu. Meski banyak yang membullyku, Dio akan membelaku. Aku sangat bersyukur memiliki teman seperti Dia.

“Sehun”
Aku memandang ke belakang. Ternyata Dio yang sedang mengejarku. Dia memukul pundakku pelan dari belakang. Aku berbalik sambil berjalan mundur.

“Ada apa?”

“Kau kenal Kim Jong In?”

Aku berhenti. Dio juga berhenti. Darimana Dio tau tentang kakakku?

“I...iya. ada apa?”

“Semalam ibuku yang sedang mabuk di antar pulang oleh seorang pemuda bernama Kim Jong In. Sudah beberapa hari ini sih kata pembantuku Ibu di antar pulang olehnya. Mungkin karena Ibu stres sebab ayahku baru saja meninggal 2 bulan yang lalu. Dia sekarang jadi sering ke bar. Setelah melihat ku yang pulang dengan seragam kerja, Dia, si Kim Jong In, menanyakanku apakah aku kenal dengan Oh Sehun. Mungkin dia mengiraku anak pembantu, haha. Intinya kau kenal atau tidak?”

Sial. Kakak macam apa Dia? Mengapa harus ibu Dio? Apa dia dan ibu Dio melakukan hal yang tidak tidak?

“Tidak. Aku tidak mengenal Kim Jong In.”

Aku tersenyum tipis. Maaf Dio, aku bukannya tidak mengenalnya. Lebih tepatnya aku sudah tidak mau mengenalnya lagi. Dan entah ini kebetulan, kami berada di depan bar tempatku melihat kakakku pernah. Aku menghadap pintunya dan ternyata, Kakakku melihat Kami. Mungkin juga mendengar semua yang kami bicarakan. Kulihat dia mengepal tangannya dan menatapku tajam. Dia lalu masuk ke barnya. Cih, siapa yang membuatku membencinya? Dia sendiri. Mungkin aku harus belajar seperti ini terus meski rasanya sangat sakit.

“Oh, mungkin dia pernah melihatmu di cafe, haha.”
Aku menundukkan kepalaku karena merasa ada suatu cairan yang mengalir di hidungku. Aku membalikkan badan agar Dio tidak melihatnya. Kusentuh philtrum ku. Oh tidak, ini darah. Aku mimisan. Kepalaku sakit.

“Hey, Sehun. Kau tidak apa-apa?”

Dio berjalan ke depanku. Aku menghindari pandangannya. Dia mengeluarkan sapu tangan dan menaruhnya di hidungku.

“Teruslah menunduk. Tahan napasmu sebentar.”

Dia kemudian membersihkan darah di hidungku. Ya Tuhan, aku beruntung memiliki sahabat seperti Dio. Terima kasih sudah mempertemukannya denganku.

“terima kasih”

kataku pelan berharap dia tidak mendengarnya

“sama-sama. Kau tidak usah bekerja hari ini. Aku yang akan meminta izinkanmu. Ayo naik, kau akan kuantar pulang”

Dia memanggilkanku taksi dan mengantarku hingga ke depan tempat tinggalku. Agak malu sih membuat orang kaya sepertinya melihat rumahku yang kecil, muram dan juga berantakan

“Aku masuk. Sekali lagi terima kasih. Sampai bertemu besok. Sapu tanganmu kukembalikan besok yah”

“Tidak usah. Untukmu saja. hitung hitung tanda persahabatan. Aku masih punya satu di rumah. Ya sudah. Selamat tinggal Sehun”

Dia lalu pergi meninggalkan rumahku

Aku masuk ke rumah. Saat ingin mengambil air di kulkas, kulihat sebuah memo tertempel di pintu.

Aku pergi. Jaga dirimu baik baik

Kuambil kertas memo tersebut lalu kuremas. Terlihat sebuah kotak kecil di atas meja makan. Ternyata isinya itu bingkai foto keluarga kami. Kuambil bingkai foto itu lalu kupeluk. Aku menangis.

“Sehun, kau tau tidak hari ini ada pemeriksaan kesehatan di sekolah Kita? Untuk disetor sebagai riwayat kesehatan ke pihak sekolah?”

Tanya Dio antusias meski makanan masih memenuhi mulutnya.

“Makan dulu makananmu”

Kukeluarkan sapu tangan yang kemarin Dio berikan dan kubersihkan bibirnya pelan. Dia tersipu malu. Tuh kan, andai saja dia wanita sudah aku pacari Dia.

“Kau ikut kan? Lebih baik kau periksa kesehatanmu. Bukannya kemarin Kau mimisan kan? Ya sudah ayo ke ruang kesehatan sekarang”

Belum selesai kuteguk es teh yang kupesan, Dio sudah menarikku.

“Aku masuk yah”
Aku pamit padanya. Entah kenapa aku takut memeriksakan kesehatanku. Aku takut sakit.

Aku lalu masuk ke ruangan tersebut. Terlihat beberapa alat kedokteran canggih di dalamnya. Dokterpun mulai memeriksa tubuhku. Saat pemeriksaan selesai kulihat dokter nampak sedih. Apa yang salah?

“Bagaimana dokter? Aku sehat kan?”

Dokter masih sibuk menulis keterangannya. Setelah selesai dia memberi tahuku bahwa aku terkena leukimia. Aku terkaget. Mengapa harus aku?

“Dokter, jangan beritahu siapa siapa. Cukup kau berikan riwayat kesehatannya ke guru. Beritahu mereka juga jangan kasih tau siapa siapa. Kumohon”

Akupun keluar ruangan itu sambil menyembunyikan keterangan yang diberikan oleh dokter.

“Bagaimana? Apa kau kena penyakit? Patah hati atau gagal hati?”

Dio bertanya sambil bercanda. Dia bisa saja membuatku menarik senyumku ini.

“Ti..tidak. aku sehat kok.”
Sekali lagi, aku berbohong pada sahabatku sendiri.

Benar saja, semakin hari kondisiku semakin memburuk. Meski perlahan. Aku jadi sering mimisan dan kepalaku pusing sekali. Untung aku belum sampai tahap sering pingsan. Bisa repot kalau aku pingsan terus. Apalagi kalau di depannya Dio.

Hari ini aku mau ke bar tempat kakakku bekerja. Setelah sebulan tidak bertemu, tidak bisa kupungkiri bahwa aku merindukannya. Aku memasuki ruangan yang penuh gemerlap tersebut.

Ternyata kakakku menjadi dancer disini. Kulihat dia menggerakkan tubuhnya. Cukup keren juga sih. Tidak salah kalau banyak wanita centil yang mendekatinya dan memperebutkan kakakku. Mungkin karena ini Dia melupakanku.

Setidaknya aku sudah melihatnya, Akupun keluar  dari bar tersebut.

“Sehun”

Aku berbalik. Ternyata kakakku. Sudah hampir setahun aku tidak mendengar suaranya. Aku rindu. Aku rindu semua kenangan indah yang kumiliki bersamanya. Tapi, aku harus kuat. Aku tidak boleh terlihat lemah di hadapannya.

“Apa?”

“Mengapa kau ke bar? Kau tidak sekolah? Sudah makan belum? Mengapa wajahmu muram? Kau sakit?”

Kak, jangan bertanya banyak hal. Jangan peduli padaku, kak. Jangan membuatku seperti ini.

“Apa pedulimu”

Mengapa aku bisa mengatakan hal seperti itu? Bodohnya aku. Itu kakakmu, Oh Sehun. Sangat tidak sopan apabila kau bersikap dingin padanya. Aku malu saat ini. Kepalaku pusing. Pasti aku sedang kambuh. Aku berbalik. Aku berlari menuju jalan dan tiba tiba saja sebuah mobil hampir menabrakku

“OH SEHUN. AWAS!”

Kakakku menarikku. Dia terserempet dan aku selamat. Ku pegang tangannya erat. Tidak, aku tidak boleh menutup mataku. Aku masih ingin bersama Kakakku. Aku tidak ingin meninggalkannya. Tidak peduli betapa dia cuek padaku Dia tetaplah kakakku. Tidak akan berubah!

Mataku semakin berat. Darah di hidungku terus mengalir. Kakakku berjalan pincang ke arahku. Dia meminta pertolongan. Kak, aku menyayangimu. Dan yah, matakupun tertutup.


“Sehun? Kau sudah sadar?”

Kulihat kakakku senyum sumringah melihatku siuman. Senyuman itu, senyuman itulah yang aku tunggu selama sekian lama. Setelah senyum itu menghilang dan Dia kembali menunjukkannya padaku.

“Kak. Maafkan aku”

“Tidak apa-apa, Sehun. Kau sakit apa sih? Perasaan kakak yang terserempet kenapa kamu yang koma selama 1 minggu? Kau tidak geger otak kan?”

“HAH?! 1 MINGGU?”

1 Minggu? Mengapa aku koma lama sekali. Aku bahkan belum mencapai stadium 3. Plis, aku mohon jangan tambah parah dulu. Tabunganku belum cukup untuk melakukan operasi. Untung saja kakak tidak tau aku sakit apa.

“Oh Sehun. Mengapa kau begitu ceroboh hah?! Untung saja kau tidak kenapa kenapa. Seharusnya penderita leukimia seperti dirimu istirahat saja dan tidak usah berkeliaran”

Dokter memasuki ruangan dan membocorkan segalanya. Aku menunduk berharap kakak tuli mendadak dan tidak mendengarnya. Meski aku Tau itu mustahil

“A..apa? Se...sehun leukimia? Sehun, ka..kau le..leukimia?”

“Ah baru stadium awal kok, kak. Masih bisa disembuhkan. Aku pasti sembuh kok”

“Bodoh! Kalau tidak segera diobati akan semakin parah”

“Oh Sehun, leukimiamu sudah stadium 2. Bukan stadium awal”

Dokterpun menambah bebanku. Lengkap sudah penderitaanku ini. Benar sih, kulihat bantalku sudah beberapa helai rambut rontok terlihat. 2 bulan ke depan aku pasti botak. 6 bulan ke depan aku mati? Sesulit inikah leukimia itu?

“apa masih bisa sembuh, dok?”

“Tuan Kim Jong In. Tentu saja bisa, tapi kemungkinan suksesnya tidak seberapa. Lagipula biayanya mahal”

“Tidak apa, dok. Aku punya uang kok”

Uang? Sejak kapan kakak punya uang?

“Aku bekerja siang malam untuk menabung, Sehun. Untuk membeli rumah baru untukmu. Untuk membelikanmu motor. Membelikanmu baju baru. Tapi, karena kesehatanmu lebih penting. Aku akan menggunakannya untuk pengobatanmu. Mungkin ditambah sedikit lagi saja kau sudah bisa operasi”

Dia menjelaskan tanpa kutanya.

“Jadi, karena ini kakak jarang pulang?”

“Maafkan kakak, Sehun. Kakak seperti ini agar bisa menabung banyak. Jangan membenci kakak”

Bodoh, mana mungkin aku membencimu, kak. Kau keluargaku satu satunya. Kau yang paling memahamiku

Kupeluk kakakku erat. Kurasakan wangi tubuhnya yang aromanya masih terikat jelas dalam memori otakku.

“Kau harus pulang kak”

Bisikku padanya. Dia mengangguk pelan.


“Dio”

Aku memanggil Dio pelan. Kupegang pundaknya. Dia menepisnya. Ada apa dengan Dio?

“Kau kemana saja seminggu ini? Hah?!”
“I..itu”

“Aku bilang kau kemana?! Kau tidak tau betapa khawatirnya Aku?! Kalau sudah tidak peduli yah bilang saja”

Dia lalu pergi meninggalkanku. Maaf kan aku, Dio. Aku tidak mungkin memberitahukanmu penyakitku.

Akupun berjalan ke kelas utnuk bersiap pergantian pelajaran. Hari ini pelajaran olahraga. Entah aku yang sedang sial atau apa. Kelasku bersamaan dengan jadwal kelas Dio.

Dan yah, kali ini permainan bola tangan. Aku berpasangan dengan Dio. Kulemparkannya bola tangan itu. Dia menangkapnya. Masih ada raut wajah marah di wajahnya. Aku tidak berani melihat ke arahnya.

Oh tidak, kepalaku pusing. Hidungku mimisan. Sekilas kulihat Dio melemparkan bolanya dan seketika itu pula aku terjatuh. Dia berlari ke arahku sesaat sebelum aku pingsan.
“Sehun. Sehun. Kau tidak apa-apa?”

Dia mengguncangkan tubuhku pelan. Saat aku sadar, aku sudah ada di ruangan warna putih dengan selang infus terpasang di tanganku.

“Sehun kau sudah sadar? Akhirnya setelah 3 hari kau terbaring disini. Maafkan aku karena sudah marah padamu”

Aku tersenyum tipis. Kulihat mata Dio sembab. Dasar cengeng, pasti habis menangis

“Kenapa tidak bilang kalau kau leukimia? Stadium 2 pula? Kau mau meninggalkanku tanpa pamit? Hiks”

Dia menundukkan kepalanya. Air matanya menetes di tanganku yang dipegang olehnya. Aku menjitak nya lemas

“Jangan menangis atau aku akan menjitakmu lagi”

Bukannya berhenti, tangisannya malah semakin kencang. Bikin malu saja.

“Jangan tinggalkan aku , Sehun. Kau sahabatku yang paling tampan, baik, pintar dan pengertian. Kau segalanya untukku. Jangan tinggalkan aku yah. Plis”

Aku menjitaknya lagi

“Tidak akan, bodoh”

Mataku kembali terpejam lemas. Namun masih kurasakan panggilan Dio panik kepadaku. Aku pikir ini adalah saatnya aku pergi. Pergi meninggalkan dunia. Meninggalkan kakak yang kusayangi dan sahabat yang kucintai.

Seberkas cahaya itu datang lagi. Ayah dan ibuku tersenyum menyambutku senang. Kucium tangan mereka berdua. Dan yah, ini adalah saatnya.  Namun aku kembali. Mereka menyuruhku kembali.

“Maaf, Tuan Kim Jong In. Operasi ini gagal. Kami gagal”

“TIDAKKKK. SEHUN KAU TIDAK BOLEH MENINGGALKANKU. TIDAK BOLEH!”

Perlahan sebuah kain menutupi wajahku. Apa-apaan ini. Aku masih hidup. Kutahannya kain itu. Suster sempat kaget namun aku mengedipkan sebelah mataku pertanda aku memang masih hidup. Aku mendekati kakakku yang sedang duduk lemas. Kupeluk Dia dari belakang

“Kak.”

Dia terkaget. Dia lalu memelukku erat. Dio yang kebetulan juga ada disitu terlihat tidak percaya. Aku menghampirinya dan mencium pipinya. Lalu, menjitak kepalanya.

“Operasinya memang gagal. Tapi masa kritisku sudah berhasil kulewati. Leukimiaku sudah sembuh kok. Tenang saja. ada mujizat untukku”

Kupeluk mereka berdua erat. Kedua orang yang sangat kucintai. Sahabat dan kakakku.


Akhirnya kisah ini berakhir bahagia. Akankah kalian senang?
Intinya, seburuk apapun keluargamu, dia pasti sangat sayang padamu. Dan sahabat, aku yakin setiap orang membutuhkan sahabat. Tetaplah semangat dan lakukan apa yang kau inginkan –Oh Sehun

Comments

Popular Posts